Tawaran
proyek lagi-lagi datang. Panggilan ini yang memaksanya untuk beranjak dari
kursi malas dan layar computer yang terus menyala. Dengan mobil sedan hitam
keluaran pabrik jepang ia menjajaki jalan-jalan raya berbalut aspal. Alamatnya
sulit sekali sama dengan medannya. Dari yang tadi nya mulus berlapis aspal
sampai jalan lubang lapis tanah merah. Seperti saat muda dulu, off road.
Aku kenal
dia sudah 17 tahun lamanya. Tak banyak berubah. Hanya saja tambah keriput dan
tambah putih kepalanya. Diam-diam aku selalu mengangguminya. Ia kuat tapi
lembut. Ia cerdas tapi konyol. Hidupnya keras tapi tetap senyum. Ia dewasa tapi
nonton kartun. Ia kadang bisa jadi bapak bisa juga jadi adik tapi dia selalu
jadi teman.
Tanpa banyak
ah uh ia turun dari mobil, liat sekeliling, survey ceritanya. Dengan tablet pc
nya yang terlalu besar untuk jadi handphone dan terlalu kecil untuk tablet ia
mengabadikan tempat itu. Disimpannya agar ia menguasai daerah itu dan tahu apa
yang harus dibangun di tempat seperti itu. Biasa, kerjaan arsitek.
Anak-anak
kampong bersepeda ria. Sekitar 3 sampai empat kawanan berhenti melihatnya lalu
berbisik, “gile ada bule!” tidak yakin itu bisikan atau raungan. Teman lainnya
ikut sahut “iya lagi suting lagi tuh” tidak yakin itu hardik atau puji.
Lucu sekali
kalau mereka mengetahui dia sunda tulen peranakan ciamis dan tasikmalaya. Orang
asli Indonesia yang kalau belum makan nasi tidak afdol dan yang kalau di rumah
berpakaian tidak senonoh singlet dan kolor setengah paha.
Masih mau
dibilang bule?
No comments:
Post a Comment